Washington, D.C. – Perang dagang yang dipicu mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, selama masa jabatannya menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Kebijakan tarif tinggi terhadap produk impor, terutama dari Tiongkok, dilakukan Trump dengan dalih melindungi industri dalam negeri dan menekan praktik dagang yang dinilai tidak adil.
Trump pertama kali mengumumkan kenaikan tarif baja dan aluminium pada Maret 2018. Sejak saat itu, ketegangan antara dua ekonomi terbesar dunia meningkat, memicu efek domino terhadap perekonomian global.
“Kita telah dirugikan terlalu lama oleh praktik perdagangan yang tidak adil. Sekarang saatnya Amerika menang kembali,” ujar Trump dalam konferensi pers di Gedung Putih saat pengumuman tarif diberlakukan.
Tiga Alasan Utama Trump Memulai Perang Dagang
- Melindungi Industri Dalam Negeri
Trump menilai produk impor, khususnya dari Tiongkok, membuat industri manufaktur AS melemah. Dengan menaikkan tarif, ia berharap mendorong masyarakat untuk membeli produk lokal dan menghidupkan kembali sektor industri yang telah lama lesu. - Mengurangi Defisit Perdagangan
Amerika Serikat mengalami defisit perdagangan yang signifikan dengan Tiongkok, yang pada 2018 tercatat mencapai lebih dari USD 400 miliar. Trump memandang ini sebagai ketidakseimbangan yang merugikan ekonomi nasional. - Menekan Praktik Dagang Tidak Adil
Trump menuduh Tiongkok melakukan pencurian hak kekayaan intelektual, memberikan subsidi besar kepada perusahaan domestik, dan melakukan manipulasi mata uang. Perang tarif dijadikan alat negosiasi untuk mendesak reformasi dari pihak Beijing.
Kritik dari Kalangan Ekonomi
Meski bertujuan untuk “membela Amerika”, kebijakan perang dagang Trump menuai kritik. Ekonom menilai kebijakan tersebut menaikkan harga barang-barang konsumsi, membebani pelaku usaha, dan bahkan merugikan petani AS akibat balasan tarif dari negara mitra dagang.
Menurut laporan Peterson Institute for International Economics (2019), kebijakan tarif Trump berpotensi menyebabkan hilangnya hingga 300.000 lapangan kerja di sektor terdampak, serta memperlambat laju pertumbuhan ekonomi global.
Strategi Politik Jangka Panjang?
Di sisi lain, sejumlah pengamat menilai perang dagang bukan semata kebijakan ekonomi, tetapi bagian dari strategi politik Trump untuk memperkuat basis pendukungnya, terutama di wilayah industri dan pertanian yang tertekan oleh globalisasi.
Retorika “America First” yang diusung Trump berhasil menarik simpati pemilih kelas pekerja, yang merasa tertinggal dalam arus perdagangan bebas dan outsourcing.
“Perang dagang ini adalah panggung politik. Trump tahu isu proteksionisme bisa menjual di tengah ketidakpastian ekonomi,” ujar Dr. Emily Zhang, analis politik internasional dari Georgetown University.
Dampak Jangka Panjang Masih Terasa
Hingga kini, banyak tarif yang diberlakukan di era Trump belum dicabut oleh pemerintahan Joe Biden. Hal ini menunjukkan bahwa isu perdagangan, terutama dengan Tiongkok, masih menjadi alat negosiasi dan tekanan dalam hubungan internasional Amerika Serikat. (ISL)