Akreditasi perguruan tinggi merupakan salah satu instrumen penting dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia. Tujuan utamanya adalah untuk menjamin mutu pendidikan, meningkatkan daya saing lulusan, dan memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa institusi tersebut memenuhi standar tertentu. Namun, dalam praktiknya, akreditasi sering kali menjadi momok bagi banyak perguruan tinggi. Proses yang panjang, tuntutan administratif yang rumit, serta tekanan untuk memenuhi berbagai indikator menjadikan akreditasi terasa lebih sebagai beban daripada peluang untuk berkembang.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi perguruan tinggi adalah beban administratif yang berat. Untuk mendapatkan atau mempertahankan status akreditasi, institusi harus mengumpulkan dan menyusun berbagai dokumen pendukung, mulai dari data kurikulum, laporan penelitian, hingga bukti pengabdian masyarakat. Proses ini memakan waktu dan tenaga yang tidak sedikit, sehingga terkadang mengalihkan fokus perguruan tinggi dari peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri. Bagi institusi dengan sumber daya terbatas, seperti perguruan tinggi kecil atau baru berkembang, tantangan ini menjadi semakin berat.
Selain itu, proses akreditasi sering kali terjebak dalam pendekatan kuantitatif. Banyak indikator yang digunakan lebih menekankan pada angka-angka tertentu, seperti jumlah publikasi ilmiah dosen, rasio dosen terhadap mahasiswa, atau persentase lulusan yang bekerja dalam waktu tertentu. Akibatnya, perguruan tinggi cenderung "mengejar angka" demi memenuhi standar akreditasi alih-alih benar-benar berfokus pada peningkatan kualitas akademik dan pembelajaran. Hal ini menciptakan tekanan tambahan bagi institusi untuk memenuhi target yang terkadang tidak relevan dengan kebutuhan nyata mahasiswa atau masyarakat.
Momok lain dari akreditasi adalah ancaman penurunan status jika suatu perguruan tinggi gagal mempertahankan standar yang ditetapkan. Penurunan status akreditasi dapat berdampak serius pada reputasi institusi dan kepercayaan masyarakat. Sebagai contoh, kasus Universitas Lambung Mangkurat yang mengalami penurunan status dari A ke C menjadi pelajaran penting bahwa kegagalan dalam menjaga mutu internal dapat merugikan institusi secara signifikan. Hal ini menunjukkan betapa besarnya tekanan yang dihadapi perguruan tinggi dalam menjaga status akreditasinya.
Di sisi lain, persaingan antarperguruan tinggi juga semakin ketat di era globalisasi dan digitalisasi. Perguruan tinggi dituntut untuk terus berinovasi agar relevan dengan kebutuhan industri dan perkembangan teknologi. Namun, tekanan untuk memenuhi standar akreditasi sering kali menghambat fleksibilitas institusi dalam beradaptasi dengan perubahan zaman. Alih-alih berfokus pada inovasi kurikulum atau pengembangan metode pembelajaran baru, banyak perguruan tinggi justru terjebak dalam rutinitas administratif untuk memenuhi tuntutan akreditasi.
Namun demikian, bukan berarti akreditasi tidak memiliki manfaat. Akreditasi tetap menjadi alat penting untuk menjaga mutu pendidikan dan memberikan panduan bagi perguruan tinggi dalam meningkatkan kualitasnya. Masalahnya terletak pada pelaksanaan proses akreditasi itu sendiri yang terkadang terlalu rigid dan tidak adaptif terhadap kondisi masing-masing institusi. Oleh karena itu, diperlukan reformasi dalam sistem akreditasi agar lebih sederhana dan berorientasi pada pengembangan kualitas secara holistik.
Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah menyederhanakan proses akreditasi tanpa mengurangi esensi dari penjaminan mutu pendidikan. Regulasi baru yang lebih fleksibel dan adaptif dapat membantu mengurangi beban administratif bagi perguruan tinggi sekaligus memberikan ruang untuk inovasi akademik. Dengan demikian, perguruan tinggi dapat lebih fokus pada misi utamanya: mencetak lulusan berkualitas yang siap menghadapi tantangan global.
Selain itu, kolaborasi antarperguruan tinggi juga dapat menjadi solusi efektif. Perguruan tinggi dengan status unggul dapat membina institusi lain melalui program mentoring atau kerjasama strategis dalam bidang akademik dan penelitian. Pemerintah juga perlu memberikan dukungan finansial tambahan bagi perguruan tinggi kecil agar mereka mampu meningkatkan kapasitasnya tanpa terbebani oleh biaya proses akreditasi.
Lebih jauh lagi, fokus utama dari proses akreditasi harus bergeser dari sekadar memenuhi indikator kuantitatif menuju pengembangan kualitas akademik secara menyeluruh. Akreditasi harus mendorong perguruan tinggi untuk menciptakan lingkungan belajar yang inovatif dan relevan dengan kebutuhan zaman, bukan hanya mengejar angka-angka di atas kertas. Dengan pendekatan ini, proses akreditasi dapat menjadi motivator positif bagi perguruan tinggi untuk terus berkembang.
Pada akhirnya, akreditasi seharusnya tidak lagi menjadi momok bagi perguruan tinggi melainkan peluang untuk meningkatkan kualitas secara berkelanjutan. Dengan reformasi regulasi yang tepat dan dukungan dari berbagai pihak terkait, sistem akreditasi di Indonesia dapat menjadi lebih inklusif dan adaptif terhadap kebutuhan masing-masing institusi. Jika hal ini tercapai, maka tujuan utama dari akreditasi yakni menciptakan pendidikan berkualitas demi kemajuan bangsa dapat terwujud dengan lebih baik.