SebangsaNews adalah platform berita online yang didirikan pada tahun 2025 dengan tujuan untuk memberikan informasi yang akurat, berimbang, dan relevan bagi masyarakat Indonesia.

Kegagalan PPEPP: “Polemik Konsepsi dan Persepsi dalam SPMI”

Author
Dipublikasikan: 11 March 2025

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi jelas telah diatur bahwa dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan tinggi, Perguruan Tinggi wajib melaksanakan Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang dikenal dengan istilah “SN-Dikti”.

Kebijakan SN-Dikti yang digelintirkan oleh Pemerintah mengatur mengenai standarisasi pendidikan tinggi di batas minimal, atau, SN-Dikti merupakan kumpulan standar minimal yang harus dipenuhi oleh setiap perguruan tinggi di Indonesia, baik Itu Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Meskipun Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 mengatur standar minimal namun secara nasional standar yang dianggap standar nasional hanya pada aspek pendidikan saja, hal ini tergambar dari nomenklatur dari jenis-jenis standar yang disebutkan dalam SN-Dikti tersebut, yaitu: Standar Nasional Pendidikan, Standar Penelitian dan Standar Pengabdian kepada Masyarakat. Dari ketiga standar tersebut hanya di bidang pendidikan saja yang dilekatkan kata “Nasional”, sedangkan di bidang penelitian dan pengabdian tidak dilekatkan kata “Nasioanl”. Dengan demikian, hanya pendidikan saja yang standar dan indikator-indikatornya yang bersifat nasional sedangkan penelitian dan pengabdian tidak bersifat nasional. Terhadap standar penelitian dan pengabdian tersebut diharapkan kepada Perguruan Tinggi untuk berinovasi dan berinisiasi dengan cara menetapkan berbagai pelampauan standar dan indikator dalam SN-Dikti.

Apabila kita kembali melihat peraturan mengenai SN-Dikti sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, maka jelas terlihat perbedaan yang signifikan dalam standar-standar minimal yang ditetapkan pemerintah. Permendikbud tersebut menyebut ada 24 standar minimal yang masing-masing terdiri dari 8 standar nasional pendidikan, 8 standar penelitian dan 8 standar pengabdian kepada masyarakat, sedangkan dalam Permendikbudristek terbaru disebutkan hanya 9 standar minimal yang terdiri dari 3 standar nasional pendidikan, 3 standar penelitian dan 3 standar pengabdian kepada masyarakat. Perbedaan jumlah standar minimal tersebut didasari oleh konsep penyederhaan standar agar perguruan tinggi mampu menetapkan standar dan/atau indikator yang melampaui SN-Dikti lebih banyak. Namun dibalik penyederhanaan standar tersebut jelas bukan hanya fokus pada pengurangan standar dan/atau indikator tetapi juga memberikan tugas-tugas baru bagi perguruan tinggi, misalnya jenis mahasiswa ditetapkan menjadi 3 jenis yang terdiri atas mahasiswa full time, mahasiswa part time dan mahasiswa RPL. Masa berstudi dibagi menjadi 2 yaitu masa tempuh kurikulum dan masa studi mahasiswa. Bobot SKS 170 menit/minggu/semester menjadi 45 jam persemester, dan masih banyak lagi perubahan yang signifikan secara substansi dalam arti menambah ketentuan baru, tidak hanya dalam aspek pendidikan, tetapi juga dalam aspek penelitian dan pengabdian. Penyederhanaan tersebut tentu mendapat respon variatif, bagi perguruan tinggi yang sudah mapan tentu dianggap memberi kemudahan, tetapi bagi perguruan tinggi yang masih berkembang apalagi perguruan tinggi baru hal tersebut merupakan bentuk dari pemberatan dari pemerintah, karena secara konsep yang diberikan masih kurang jelas ditambah lagi kekurangjelasan tersebut tidak ditindaklanjuti dan/atau tidak dilengkapi oleh pemerintah dengan menerbitkan regulasi-regulasi turunannya.

Terlepas dari polemik mengenai penyederhanaan tersebut, dilain sisi juga terdapat permasalahan klasik yang selama ini sama sekali tidak menjadi perhatian dari pemerintah yaitu mengenai Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dengan berbasis PPEPP. SPMI merupakan salah satu sistem dalam Penjaminan Mutu yang harus dilakukan oleh perguruan tinggi. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi itu sendiri terdiri atas SPMI dan SPME atau Sistem Penjaminan Mutu Eksternal yang kita kenal dengan istilah akreditasi. SPME adalah luaran dari SPMI, maka dengan demikian dapat dipastikan apabila dalam suatu perguruan tinggi pelaksanaan SPMI tidak berjalan dengan baik maka mustahil untuk memperoleh akreditasi, apalagi akreditas maksimal dalam hal ini terakreditasi unggul. Inti dari SPMI itu sendiri adalah cara mengolah dan menjalankan Standar minimal dan standar melampaui yang dimiliki Perguruan Tinggi guna memperoleh status akreditasi terbaik. Intinya bahwa meskipun secara tertulis Standar yang dimiliki oleh suatu perguruan tinggi sudah dikategorikan bagus dan pelampauan SN-Dikti namun apabila tidak diolah melalui SPMI yang baik maka tidak akan menghasilkan nilai yang baik pula, terlebih lagi berangan-angan menciptakan budaya mutu yang berkelanjutan. Selama ini Pemerintah melalui lembaga akreditasi hanya melihat SPMI dari kulitnya saja, dalam arti bahwa SPMI itu hanya dilihat dari aspek pendokumentasiannya saja tidak sampai ke aspek lainnya sehingga potensi manipulasi dalam pembuatan dokumen sangat memungkinkan.

Lebih jauh lagi, apabila dilihat selama ini dalam penerapan SPMI hanya difokuskan pada pelaksanaan Standar SPMI berbasis PPEPP, yang terdiri atas aspek Penetapan Standar SPMI, Pelaksanaan Standar SPMI, Evaluasi Pemenuhan Standar SPMI, Pengendalian Pelaksanaan Standar SPMI dan Peningkatan Standar SPMI. Persepsi mengenai SPMI berbasis PPEPP senantiasa dipertahankan, dibumikan dan dilestarikan tanpa melihat sejauh mana pemahaman pihak-pihak yang berkepentingan terhadap SPMI itu sendiri. Hampir semua materi-materi terkait SPMI selalu saja ditekankan pada PPEPP sehingga secara tidak langsung ketika bicara SPMI yang langsung terbayang adalah PPEPP. Tentu hal ini sangat bagus bagi perguruan tinggi apabila pengetahuan tentang Sistem Penjamin Mutu sudah komprehensif dan tepat. Konsep SPMI berbasis PPEPP memang sudah lama diterapkan dan tidak ada perubahan sama sekali terhadap aturan tersebut, hanya saja pengetahuan yang dangkal mengenai SPM akan menjadikan PPEPP sebagai momok yang memberatkan bagi para penyelenggara perguruan tinggi. Terlebih lagi selama ini banyaknya persepsi yang muncul mengenai implementasi SPMI itu sendiri dari para ahli-ahli dan pakar-pakar SPMI, carut marut tersebut ditambah lagi dengan para asesor dari lembaga akreditasi yang tidak menguasai substansi dari SPMI atau asesor yang berpegang teguh pada pemikirannya sendiri tentang SPMI sehingga penilaian luaran SPMI menjadi tidak ada standar meskipun sudah ada instrumen akreditasi. Dinamika dan diskursus mengenai SPMI tersebut lahir karena dalih “dilaksanakan secara otonom” sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Kegagalan pemahaman tentang PPEPP dalam SPMI tersebut disebabkan oleh kurang sensetifnya pemerintah terhadap materi-materi SPMI yang secara masif telah disosialisasikan, dan seakan-akan menjadi dalil pembenar atas tuduhan bahwa pemerintah kurang serius dalam menerapkan kebijakan Sistem Penjaminan Mutu Internal.

Terkait materi-materi SPMI tersebut, yang dimaksud dalam opini ini adalah bahwa ketika penyampaian mengenai SPMI maka sering difokuskan pada PPEPP, sedangkan PPEPP itu sendiri merupakan bagian dalam atau “jeroan” dalam pelaksanaan SPMI. Kebijakan mengenai SPMI itu sudah sangat jelas ada 5 aspek luar, yaitu bahwa SPMI direncanakan, dilaksanakan, dievaluasi, dikendalikan dan dikembangkan. Sedangkan PPEPP itu sendiri hanya berada pada aspek dalam “dilaksanakan” dan hanya mengenai standar SPMI yang dimiliki tidak merembet ke perangkat lainnya. Kurangnya penjelasan dan penjabaran mengenai 5 aspek luar SPMI tersebut pada akhirnya menimbulkan ketidakjelasan dalam penerapan SPMI di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Ketidakjelasan tersebut pada akhirnya menjadikan SPMI berbasis PPEPP sebagai momok yang memberatkan dan bahkan mempersulit perguruan tinggi, bukan sebagai jantungnya perguruan tinggi. Contoh umum dari hal tersebut, misalnya ketika meningkatkan indikator dalam salah satu standar yang dimiliki perguruan tinggi maka terbebani juga dengan merevisi Perangkat SPMI lainnya, mulai kebijakan, pedoman PPEPP dan tata cara pendokumentasiannya, hal ini terjadi karena kebanyakan Perguruan Tinggi tidak memahami aspek luar dari pelaksanaan SPMI tersebut, yang terdiri dari aspek “direncanakan, dilaksanakan, dievaluasi, dikendalikan dan dikembangkan”. Apabila konsep SPMI itu dipahami secara benar, maka perguruan tinggi akan memiliki kebijakan implementasi SPMI di lingkungan perguruan tinggi tersebut. Hari ini ketika ditanya kebijakan terkait SPMI sering disungguhkan kebijakan SPMI yang merupakan salah satu perangkat SPMI, sedangkan yang dimaksud kebijakan implementasi SPMI di luar dari perangkat SPMI karena kebijakan itulah yang mengatur terkait seluruh aspek SPMI termasuk perangkat-perangkat SPMI yang dimiliki.

Ketidakseriusan pemerintah tercermin tidak hanya dari konsepsi dan persepsi SPMI itu saja, gambaran lainnya juga jelas terlihat pada kenyataan bahwa sangat banyak pimpinan perguruan tinggi di Indonesia yang tidak memahami SPMI itu sendiri, bahkan dosen-dosen ketika ditanya tentang SPMI seakan baru mendengar istilah tersebut. Bingkai penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan tinggi adalah penjaminan mutunya, maka adalah suatu preseden apabila pimpinan perguruan tinggi tidak mengerti tentang SPMI, apabila tidak mengerti SPMI bagaimana mungkin mereka mampu menjamin mutu luaran dan capaian tridharma, apabila luaran dan capaian tersebut bagaimana mungkin mampu berkontribusi dalam mewujudkan indonesia emas tahun 2045. Ketidaktahuan dan ketidakpahaman tentang SPMI tersebut merupakan penyakit kronis yang diderita oleh lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, dan sampai hari ini masih belum diobati oleh pemerintah. Penyakit kronis tersebut tidak hanya diderita oleh struktur perguruan tinggi pada aras program studi saja, tetapi juga pada aras unit pengelola program studi, Fakultas/Sekolah, bahkan sampai aras universitas. Ketika berdiskusi tentang SPMI maka badan, lembaga, atau unit penjaminan mutu saja yang selalu ditampilkan oleh setiap perguruan tinggi, pimpinan perguruan tinggi tidak berani sama sekali berdiskusi tentang SPMI. Ironisnya, Lembaga Penjaminan Mutu (atau dengan sebutan lain) bukan lembaga yang mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan tinggi. Bahkan eksistensi Lembaga Penjaminan Mutu di kebanyakan perguruan tinggi selalu diposisikan sebagai peran antagonis, dihormati karena dibenci.

Pemerintah hanya terpaku pada ketentuan SPME, Pemerintah hanya berandalkan pada PD-DIKTI yang “dinamis” saja, hanya melihat pada “borang-borang”Laporan SPMI pada aplikasi Pemetaan SPMI Kemdikbud saja, yang mana semuanya itu masih terbuka peluang untuk diotak-atik oleh perguruan-perguruan tinggi yang nakal. Pemerintah tidak pada pemikiran bahwa untuk memperoleh jabatan struktural dalam perguruan tinggi harus memahami SPMI dengan bukti telah lulus dalam suatu pelatihan SPMI atau sejenisnya. Pemerintah hanya memerintahkan perguruan tinggi untuk menjamin mutu dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi, tetapi Pemerintah sendiri lupa untuk menjamin mutu dalam mengelola perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia.

Terlepas dari polemik dalam opini mengenai konsepsi dan persepsi SPMI sebagaimana yang diuraikan di atas, tidak sedikit juga perguruan tinggi ternama, baik negeri maupun swasta, yang sudah mampu menerapkan SPMI sepenuhnya bahkan menjadi model penerapan SPMI di Indonesia.

Tags:

Opini